“KPK Gigit Jari, Komisaris BUMN Cuma Cengengesan” — Drama Baru Negeri Indonesia
Pembukaan: Negeri +62 dan Plot Twist Hukum
Negeri +62 emang gak pernah kehabisan kejutan. Kalau hidup di sini bagaikan sinetron striping: dramanya nggak habis-habis, dan tiap minggu ada tokoh baru yang jadi “pemeran utama.” Tapi kali ini yang naik panggung bukan artis TikTok atau politisi yang lagi jual janji kampanye, melainkan Mahkamah Konstitusi — lembaga yang (katanya) paling sakral dalam sistem hukum kita.
Di bulan April 2024, MK resmi menjatuhkan putusan yang bikin rakyat nyengir getir: komisaris dan direktur BUMN tidak otomatis termasuk dalam kategori penyelenggara negara. Artinya? KPK — lembaga antirasuah yang dulu dielu-elukan — sekarang harus bilang, “Maaf, kami tidak punya wewenang.”
Yes, you heard it right. Direktur dan komisaris BUMN sekarang kayak punya kartu bebas dari Monopoli, tinggal bilang, “Gue bukan penyelenggara negara,” dan... puff! Hilang dari radar KPK.
Chapter 1: Dari Pahlawan ke Penonton — Nasib KPK yang Dikebiri
Dulu, KPK itu hero kita. Sering muncul di berita: OTT, penyadapan, dan pembongkaran mega skandal korupsi. Bahkan saking ngerinya, pejabat yang salah parkir aja bisa mendadak panik.
Tapi sekarang? KPK kayak security mal yang cuma bisa liatin maling kabur, karena ternyata pelakunya bukan “tamu yang berhak ditangani.” Semua berawal dari Putusan MK No. 32/PUU-XXI/2023, yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN tidak otomatis masuk kategori “penyelenggara negara.”
Padahal, selama ini KPK sering masuk ke BUMN. Banyak kasus besar lho: Jiwasraya, Asabri, Garuda, PLN. Sekarang? Kalau mau nangkep, harus pastiin dulu: “Lu penyelenggara negara gak, bro?” Kalau jawabnya “Enggak,” yaudah... kasusnya dilempar ke Kejaksaan atau Polri. Cerdas, ya?
Chapter 2: MK dan Logika ala Koperasi Sekolah
Alasan MK? Karena BUMN itu badan usaha. Mereka berdagang, cari untung, bukan bikin kebijakan publik. Jadi, walaupun direksi dan komisarisnya digaji dari duit negara, mereka bukan “penyelenggara negara.” Simple kan logikanya?
Tapi tunggu dulu, mari kita pakai analogikan seperti ini:
“Lu numpang hidup di rumah gue, makan dari gaji gue, ngabisin listrik dan air gue, tapi pas disuruh ikut kerja bakti malah bilang, ‘Eh, gue bukan keluarga lu kok.’”
Logika MK kurang lebih begitu. BUMN dikasih duit dari APBN (pakai istilah keren: penyertaan modal negara), tapi karena berlabel “badan usaha,” orang-orangnya kebal dari KPK. Padahal, mereka ngurus duit negara juga, cuma lewat ‘jalur usaha’. Kalau gitu, ya semua lembaga negara bikin PT aja, biar gak bisa dijangkau KPK. Jenius.
Chapter 3: Kalau Udah Elite, Jangan Takut Kena OTT
Putusan ini secara gak langsung bikin para elite BUMN bisa tidur nyenyak. OTT? Cuma mitos. Apalagi kalau Kejaksaan dan Polri ogah gerak cepat. Ingat, beda sama KPK, dua lembaga itu masih di bawah presiden. Jadi, kalau kasusnya melibatkan orang-orang yang ‘dekat kekuasaan’, ya bisa disayang-sayang dulu lah.
Dan jangan lupa, posisi komisaris dan direksi BUMN itu kadang bukan karena prestasi, tapi karena koneksi. Banyak yang ditaruh di sana sebagai ‘hadiah’ politik. Jadi kalau gak bisa disentuh KPK, ya makin aman lah kursi empuk itu.
Coba bayangin: seorang mantan pejabat aktif partai, yang sekarang duduk manis jadi komisaris utama BUMN besar, punya akses ke anggaran jumbo, tapi gak bisa diperiksa KPK? Apa gak makin happy?
Chapter 4: Reaksi Publik: dari 'Yah Elah' sampai 'Nyerah'
Begitu kabar ini naik, media sosial rame. Tagar #SaveKPK muncul lagi. Tapi kali ini rasanya kayak nostalgia yang menyakitkan. Banyak yang udah capek: “Apalah daya, kita cuma rakyat biasa.” Bahkan aktivis lama sampai nyinyir: “Kalau begini terus, nanti KPK cuma jadi tempat magang anak hukum.”
Organisasi macam ICW (Indonesia Corruption Watch) langsung teriak: ini pelemahan sistematis! Tapi ya, siapa yang dengar? Pemerintah adem, MK bilang itu tafsir konstitusi, DPR asik dengan kampanye masing-masing. Rakyat? Disuruh sabar.
Chapter 5: The Future? Welcome to Negara BUMN
Dengan tren kayak gini, jangan kaget kalau nanti makin banyak jabatan diisi lewat BUMN. Mau ngamanin dana? Kasih posisi komisaris. Mau kasih jabatan ke kolega politik? Buka slot direktur baru. Semua bisa diatur, asal jangan sebut-sebut KPK.
Dan buat rakyat? Ya nikmati sajalah drama ini. Anggap aja kayak nonton web series. Tapi ingat, ini bukan fiksi. Duit yang dikorupsi, jalanan yang rusak, sekolah yang bobrok — itu semua akibat dari sistem yang “legal tapi ngasal” kayak gini.
Penutup: Negara Hukum, Tapi Hukum Siapa?
Kita sering denger jargon: “Indonesia negara hukum.” Tapi tiap kali ada putusan absurd kayak gini, kita jadi bertanya: ini negara hukum, atau negara hukum-hukuman?
Kenapa MK bisa bikin putusan yang nabrak logika publik? Kenapa KPK makin hari makin ompong? Dan kenapa komisaris serta direktur BUMN, yang gajinya bisa miliaran, bisa bebas dari pengawasan ketat?
Jawabannya satu: karena bisa. Karena sistem memungkinkan. Karena elite udah saling cover, dan hukum bisa ditekuk asal punya kuasa.
Selamat datang di Wakanda versi Asia Tenggara. Di mana aktor korupsi makin licin, dan penegak hukum makin dibonsai.
Epilog: Buat Generasi Mikir
Buat lo yang masih kuliah hukum, atau ngaku Gen Z yang kritis, ini saatnya mikir: Mau sampai kapan diem aja? Mau dibohongi terus sama jargon-jargon ‘reformasi’ yang ternyata cuma kemasan? Jangan tunggu giliran kalian yang dirugikan.
KPK udah digunting, sekarang lagi dipotong labelnya. Kalau kita diem, besok mungkin tinggal jadi papan nama.
Dan jangan salah, negeri ini bukan kekurangan hukum. Kita cuma kebanyakan tukang sulap hukum.
Posting Komentar